Awal musim semi .
Menarik tanganku tuk mengambil pena.
Sekedar mencorat-coret selembar kertas.
Melahirkan beberapa aksa puisi.
Jalan tua dan desir angin.
Gerimis berkabut menjadi rintik-rintik.
Salah satu kenangan yang tak bisa kulepaskan.
Pertemuan yang memikat hati.
Berjalan disertai asam, manis, pahit dan asin.
Namun semuanya terukir dimemoriku.
Di bawah pohon pir.
Langkah kakimu selaras dengan angin musim semi.
Membawa kehangatan dan kelembutan ke lubuk hatiku.
Pertama kali aku melihat pesonamu.
Tampak sedikit bergetar saat melangkah.
Dalam gerimis, sepasang burung nuri terbang menuju utara.
Kedua kalinya ku melihat pesonamu.
Dunia tampak begitu cerah.
Seperti bulan yang bersinar.
Layaknya bintang jatuh dari punggung tanganmu.
Pertengahan musim semi.
Menantikan kehijauan rumput musim semi di tahun depan.
Reuni yang telah lama dinanti.
Aku akan menunggumu.
Sementara nuri-nuri itu terbang ke selatan.
Aku masih menyanyikan lagu itu.
Kenangan yang ditimbulkan dari nyanyian itu.
Itu semua tentangmu.
Masih ingat dengan jelas kalimat yang kau ucapkan.
Sebelum tangan kita terlambai di udara.
“Tiga bulan sudah terlewat, apa kau taahu jika burung nuri sudah sembuh dan ia akan kembali ke utara? kita sudah merawatnya sejak pertemuan pertama kita. Dan besok aku akan kembali ke kota. Apa kau tidak membuatkan puisi untukku? menyanyikannya bersama dersik angin musim semi.”
Hari yang menyenangkan.
Aku berhasil melihatmu.
Terasa seperti tiba-tiba memeluk musim semi.
Terkejut dan gembira layaknya pertemuan besar.
Aku ingin memelukmu.
Akhir musim semi.
Saat aku melihat hujan, aku melihatmu.
Seperti bunga mekar melalui empat musim.
Hari yang luar biasa.
Mimpi bertemu kenyataan.